Islam Web

  1. Fatwa
  2. ADAB DZIKIR DAN DOA
  3. Akhlak Muslim Ideal
  4. Tobat
Cari Fatwa

Tanda Tobat Diterima Adalah Baiknya Amalan Setelah Itu

Pertanyaan

Bagaimana seseorang bertobat dari dosanya? Apa saja tanda-tanda diterimanya tobat?
Benarkah dzikir dengan mengucapkan: "Subhanallâh wa-bihamdihi" seratus kali akan menghapuskan seratus dosa? Dosa apakah yang dihapus itu? Apakah dosa yang berkaitan dengan hak-hak Allah ataukah yang berkaitan dengan hak-hak para hamba-Nya?

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Telah diketahui bersama, bahwa Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menyariatkan kepada para hamba-Nya untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Allah mendorong serta menganjurkan kepada mereka untuk melakukan itu. Di antara anjuran tersebut dapat ditemukan dalam firman-Nya (yang artinya):

  • "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Az-Zumar: 53];
  • "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang membersihkan diri." [QS. Al-Baqarah: 222]

Begitu banyak dalil-dalil di dalam Al-Quran dan Sunnah yang menunjukkan kewajiban bertobat dan keharusan untuk bersegera melakukannya. Para imam dan ulama—Semoga Allah merahmati mereka—juga telah bersepakat tentang hal ini.

Jika hal ini telah diketahui, dapat kita terangkan bahwa seorang yang bertobat belum dianggap benar-benar bertobat sampai ia mewujudkan lima syarat berikut:

Pertama: Tulus, yaitu hanya mengharapkan ridha Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dengan taubatnya;

Kedua: Melepaskan diri dari dosa yang dilakukan;

Ketiga: Menyesali dosa tersebut;

Keempat: Berazam (bertekad kuat) untuk tidak kembali melakukannya;

Kelima: Taubat itu dilakukan sebelum nafas sampai di tenggorokan (sakaratul maut).

Ini berlaku apabila dosa tersebut hanya berkaitan antara si pelaku dengan Allah. Adapun jika dosa tersebut terkait dengan hak orang lain maka pelakunya juga harus membebaskan diri dari tanggungan hak tersebut. Jika berbentuk kezaliman kepada orang lain maka ia harus meminta kerelaan dari orang yang bersangkutan, dan jika berbentuk suatu hak yang ia ambil dari orang lain maka ia harus mengembalikannya kepada orang tersebut. Ini di samping harus terpenuhinya lima syarat di atas.

Dengan demikian, mesti diketahui bahwa apabila seorang hamba bertaubat, kondisinya harus berada di antara rasa harap akan diterima taubat itu dan rasa takut akan hukuman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan orang-orang yang melakukan apa yang telah mereka lakukan dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) mereka pasti akan kembali kepada Tuhan mereka." [QS. Al-Mu'minûn: 60]

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shahîh, dari Ummul Mu'minîn `Aisyah bintush Shiddîq—Semoga Allah meridhai keduanya, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tentang ayat di atas, "Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum minuman keras dan mencuri?" Beliau menjawab, "Tidak, wahai Putri Ash-Shiddîq, tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan bersedekah, namun mereka takut jika amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan." [HR. At-Tirmidzi]

Hanya saja, tidak tertutup kemungkinan adanya tanda-tanda yang mengisyaratkan kesungguhan tobat seorang hamba. Di antaranya adalah si hamba merasakan hatinya terbakar (sangat sedih) karena dosa yang ia lakukan. Ia melihat dirinya selalu lalai dalam menunaikan hak Allah Yang Maha-Agung. Ia semakin menjauhi perbuatan dosa dan semua faktor yang menggiring kepadanya, menghindarkan dirinya jauh-jauh dari semua faktor tersebut. Ia juga semakin bersemangat dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya, dan memandang bahwa bimbingan Allah kepadanya untuk bertaubat adalah nikmat sangat besar yang dianugerahkan kepadanya.

Dzikir-dzikir yang dapat menjadi kaffarah (penghapus) bagi dosa-dosa sangat banyak. Anda bisa membacanya di dalam Kitab Al-Adzkâr karya Abû Zakariya An-Nawawi—Semoga Allah merahmatinya. Kitab yang juga sangat baik dalam bidang ini adalah kitab Hishnul Muslim; berukuran kecil, namun sangat besar manfaatnya dalam hal ini.

Adapun jenis kesalahan (dosa) yang dihapuskan itu, kaidah umum dalam masalah ini menyatakan bahwa seluruh amal shalih—dengan izin Allah—akan menjadi penghapus bagi perbuatan-perbuatan dosa, yaitu perbuatan-perbuatan yang disebut dengan "dosa-dosa kecil". Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan, dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada beberapa saat di waktu malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang mau ingat." [QS. Hûd: 114]

Kami juga telah menjelaskan di atas bahwa jika suatu dosa terkait dengan hak orang lain maka pelakunya harus melepaskan diri terlebih dahulu dari tanggungan hak tersebut.

Semoga Allah memberi bimbingan-Nya kepada kita semua.

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait