Mengasuh Anak

28/08/2024| IslamWeb

Hadhânah (mengasuh) secara terminologi berarti menjaga, membimbing, dan mendidik anak kecil. Anak pada usianya yang masih dini membutuhkan orang yang mengurus segala keperluannya, sekaligus merawat dan memperhatikan pendidikannya. Ini karena pada awal-awal kehidupannya, anak belum mampu mengurus segala kebutuhannya, sehingga harus ada orang yang mengasuh dan merawatnya.

Kewajiban Mengasuh Anak

Pada dasarnya, mengasuh anak adalah kewajiban bersama kedua orang tua. Dan setiap pekerjaan yang dilakukan secara bersama oleh suami istri dengan penuh harapan untuk keberhasilan, biasanya akan sukses. Akan tetapi kadangkala kehidupan rumah tangga harus berhadapan dengan berbagai problem yang pada akhirnya mengharuskan suami istri berpisah (cerai), sehingga tidak ada pilihan bagi anak melainkan harus hidup bersama salah satu dari kedua orang tuanya yang berpisah itu. Dalam kondisi seperti ini, ibu adalah pihak yang lebih diutamakan untuk merawat dan mengasuh anak. Karena perempuan lebih mampu mendidik anak, lebih paham apa yang menjadi kebutuhan anak, dan lebih penyayang kepada anak. Hanya saja, kemampuan masing-masing perempuan dalam merawat anak tidaklah sama. Oleh sebab itu, ada perempuan-perempuan tertentu yang memang lebih diutamakan untuk merawat anak daripada yang lain, mengingat perbedaan mereka dalam tingkat kasih sayang, kelembutan, kesabaran mendidik, serta pengetahuan tentang seni dan metode mendidik.

Islam telah mendelegasikan urusan pendidikan anak kepada ibunya, karena dialah yang menyusuinya, sementara anak memang membutuhkan asupan ASI. Di samping itu, ibu cenderung lebih sabar dalam melayani segala permintaan dan kebutuhan bayi yang begitu banyak. Ibu juga memiliki lebih banyak waktu luang untuk berkonsentrasi merawat anaknya, tidak seperti kaum ayah. Selain itu, ibu juga telah diberi fitrah untuk lebih sayang, lebih cinta, dan lebih lengket dengan anaknya dibandingkan dengan ayah.

Suatu ketika, seorang perempuan datang menghadap Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, anakku ini telah aku kandung di dalam perutku, telah aku selimuti dengan pangkuanku, dan telah aku beri minum dengan susuku. Lalu tiba-tiba ayahnya ingin merampasnya dariku." Mendengar itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepadanya, "Engkau lebih berhak mengasuh anakmu selama engkau belum menikah." [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, dan Al-Baihaqi]

Secara alamiah, anak cenderung lebih dekat kepada ibunya untuk mendapatkan makanan dan perawatan, dibandingkan kepada ayahnya yang tidak dapat memberikan kebutuhan naluriahnya secara langsung. Ini dilengkapi dengan kemampuan ibu dalam memberikan kelembutan kepada anak pada fase di mana kasih sayang merupakan konsumsi yang tidak kalah urgen dari konsumsi yang lain. Oleh karena itu, pada ulama fikih menetapkan bahwa anak laki-laki harus berada di bawah hadhânah (asuhan) ibunya sampai berumur tujuh tahun, sementara anak perempuan sampai umur sembilan tahun.

Konsep pendidikan Islam melihat bahwa pemisahan antara ibu dan anak merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh negatif terhadap anak pada fase-fase awal kehidupannya. Bahkan Islam mengharamkan pemisahan antara ibu dan anaknya, baik ketika anak masih kecil maupun setelah dewasa, selama tidak ada alasan yang mengharuskan pemisahan itu. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Ayyûb—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia mendengar Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa memisahkan antara ibu dan anaknya maka Allah akan memisahkan antara ia dan orang-orang yang dicintainya pada hari Kiamat." [HR. At-Tirmîdzi, Ahmad, dan Al-Hâkim]

Syariat Islam yang mulia ini—ketika memberikan hak pengasuhan kepada ibu—mengetahui betul bahwa sepanjang fitrah seorang perempuan masih lurus, dan perilaku serta agamanya masih baik, ia pasti tidak akan keberatan memberikan apa pun demi kesehatan fisik, akal, dan kejiwaan buah hatinya. Sementara kebaikan agama dan kehidupan dunia hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang yang sehat dan kuat. Dalam hadits dinyatakan: "Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan." [HR. Muslim]

Demikianlah, kami melihat bahwa Islam telah menjadikan hak hadhânah (pengasuhan) merupakan hak timbal balik antara ibu dan anaknya. Tapi hak anak lebih dikedepankan daripada hak ibu, sebab ibu bisa lepas dari anaknya, sementara anak tidak bisa lepas dari ibunya. Oleh karena itu, Islam terkadang memaksa seorang ibu untuk mengasuh anaknya jika si ibu enggan melakukannya, padahal tidak ada halangan yang mencegahnya menjalankan kewajiban ini.

Kriteria Orang yang Mengasuh

1.    Beragama Islam: Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang non muslim, karena pengasuhan hakikatnya adalah sebuah tali pengikat antara anak dengan orang yang mengasuhnya. Lebih dari itu, pengasuhan pada dasarnya adalah lambang perwalian (kekuasaan) terhadap anak, sementara Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak memberikan hak bagi orang kafir untuk menjadi wali (pemilik kuasa) terhadap seorang muslim, walaupun ia hanya seorang anak kecil. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman." [QS. An-Nisâ': 141]

2.    Tidak menikah: Karena hadhânah (pengasuhan) mengharuskan anak diasuh di dalam lingkungan yang membuat ia merasakan cinta dan perhatian khusus, maka apabila ibu menikah lagi, lingkungan itu akan berubah, sehingga hak pengasuhan ketika itu harus berpindah dari ibu kepada wanita yang lain. Namun hukum ini berlaku selama si ibu menikah dengan selain kerabat si anak. Jika si ibu menikah dengan kerabat si anak, maka asuhan ibu masih dianggap menjadi lingkungan yang baik untuk anak mendapatkan kasih sayang.

3.    Dapat dipercaya, berakhlak mulia, dan berkelakuan baik: Perempuan pezina dan berperilaku buruk misalnya, tidak mungkin dapat dipercaya untuk mendidik anak. Bagaimana mungkin ia dapat dipercaya memegang tanggung jawab mendidik anak, sementara ia tidak bisa diharapkan untuk memelihara dirinya sendiri?

4.    Mengetahui dan mampu menjalankan prinsip-prinsip dasar pendidikan: Adalah mustahil membiarkan seorang anak bersama ibu yang tidak tahu cara mendidik anak, tidak paham cara memenuhi kebutuhan anak, tidak mengerti cara merawat serta menjaga akal dan jiwa anak. Bagaimana mungkin seorang bocah kecil dibiarkan bersama seorang perempuan yang tidak mampu mengurus diri, buta, sakit, lumpuh, atau kondisi-kondisi lain yang membuat ia sendiri butuh perawatan orang lain?!

5.    Tidak memiliki penyakit kejiwaan, penyakit mental, atau penyakit menular: Perempuan yang mengidap penyakit kejiwaan, penyakit mental—walaupun hanya kambuh pada saat-saat tertentu, penyakit menular, atau tinggal di daerah yang terjangkiti wabah penyakit menular, tidak boleh merawat anak.

6.    Balig: Perempuan yang belum balig tentu hanya memiliki sedikit pengalaman dan ilmu, dan ia sendiri masih membutuhkan bimbingan dan arahan orang lain. Bila demikian, bagaimana mungkin ia dapat mengasuh orang lain?!

7.    Fokus untuk mengasuh anak: Karena inilah alasan utama mengapa ibu diberikan hak mengasuh anak. Setiap pekerjaan atau aktivitas—kecuali terpaksa—yang berpotensi mengurangi perhatian terhadap anak adalah pekerjaan yang tidak dizinkan bagi seorang ibu. Karena pekerjaan dan aktivitas itu akan menghalangi anak untuk mendapatkan hak dicintai dan dirawat. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu juga termasuk pelanggaran terhadap fitrah dan tugas dasar kaum perempuan.

Peran Play Group

Idealnya, seorang ibu harus tetap berada di rumah untuk mengatur urusan keluarga dan rumah tangganya. Jika pun ia terpaksa harus bekerja di luar rumah, maka pekerjaan itu haruslah pekerjaan yang baik. Pekerjaan membuat ibu tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anaknya, sehingga ia terkadang harus mencari sarana lain untuk mendidik anaknya. Ia pun misalnya mendatangkan baby sitter, atau meninggalkan anaknya di rumah neneknya—jika masih ada, atau menitipkannya ke play group.

Karena seringkali banyak hambatan bagi keluarga dalam mendidik anak, seperti ibu yang harus keluar bekerja, maka sekolah-sekolah TK (play group) menjadi salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan masyarakat modern. Akan tetapi, tetap harus diperhatikan bahwa bagaimanapun maksimalnya usaha TK atau play group merawat anak-anak, tetap saja ia merupakan sarana pembantu bagi ibu dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak; sama sekali bukan sebagai pengganti posisi ibu atau pengemban tanggung jawab ibu.

Saat Anak Masuk Play Group

Beberapa saat sebelum anak berangkat ke TK atau play group-nya, ibu terlebih dahulu harus mempersiapkan mental anak untuk berangkat, serta berusaha sebisa mungkin memuji TK yang akan ia datangi. Ini bertujuan agar anak mencintai dan menggemari tempat pengasuhannya itu tanpa ada rasa takut. Bahkan ibu harus berusaha mengantar anak, terutama pada hari-hari pertama ia masuk TK. Ibu harus menanamkan pada diri anak rasa percaya diri dan ketenangan. Ibu harus menyakinkan anak bahwa ia sedang pergi untuk menjalani waktu-waktu yang menyenangkan bersama anak-anak lain yang seusia dengannya.

Seringkali anak menolak untuk pergi ke TK (play group), walaupun sudah dibujuk dengan berbagai upaya seperti itu. Dalam keadaan demikian, ibu tidak boleh menggunakan kekerasan atau memaksa anak untuk berangkat. Berusahalah kembali membujuknya. Ibu dapat menyelesaikan masalah ini dengan bertahap. Caranya bisa dengan membiarkan anak pergi bersama anak yang lebih tua, yang lebih dahulu masuk ke play group tersebut. Dan untuk menyenangkan hati anak, ibu misalnya bisa memberinya hadiah berupa kotak kecil yang tertutup, berisi kejutan menyenangkan, dan meminta kepada anak untuk tidak membukanya kecuali setelah tiba di sekolah.

Mungkin ada ibu yang bertanya-tanya: Saya sudah menjalankan semua cara itu, tapi anak saya tetap saja keras kepala, tidak mau pergi ke sekolah, bahkan kondisinya semakin parah, kadang ia sampai emosional berlebihan, terus-menerus takut pada malam hari, di samping kesehatannya yang semakin memburuk, tidak mau makan, demam terus-terusan, dll.

Dalam kondisi seperti ini, ibu disarankan untuk mengurungkan rencana memasukkan anak ke play group untuk sementara waktu. Kemudian kembali berusaha membujuknya lain kali. Pada saat itu, ibu juga harus mempelajari alasan apa yang membuat anak menolak ke sekolah, serta berusaha membuat anaknya bergaul dengan anak-anak kecil yang lain, sampai nanti terbiasa berada dalam suasana sekolah. Selain itu, ibu juga harus mengkonsultasikan masalah ini kepada psikolog guna mendapatkan solusi pengobatan yang benar.

Peran ibu tidak berarti selesai dengan masuknya anak ke TK, karena ia harus tetap mengontrol sang anak. Jika anak harus makan di sekolahnya, ibu harus memperhatikan komposisi gizi makanannya. Ibu juga harus memiliki hubungan yang baik dengan guru-guru di play group supaya dapat bekerjasama dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi oleh anaknya.

Memilih TK yang Bagus

Ibu harus memilih sekolah TK (play group) yang bagus untuk anaknya, apalagi sekarang ada beberapa TK asing bercorak kristenisasi yang jelas memiliki pengaruh berbahaya bagi anak-anak kita. Terutama ketika mereka mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak sejak usia sangat dini, karena bahasa adalah wadah untuk menanamkan berbagai tradisi dan budaya pada diri anak. Para ahli pendidikan sangat menekankan pentingnya menunda pengajaran bahasa asing apa pun kepada anak sampai permulaan bangku kelas empat SD, supaya ia dapat berkonsentrasi untuk mempelajari, menekuni, dan mempraktikkan bahasa tanah airnya dengan baik dan benar.

Mungkin ada ibu yang bertanya, seperti apakah TK yang paling baik itu?

Pertama kali, ibu harus mencari informasi tentang para pengelola TK yang akan ia pilih, dari segi antusias mereka dalam menjalankan tanggung jawab mereka, kemampuan mereka menjaga nurani mereka, dan pengorbanan mereka untuk melayani anak-anak, karena anak akan menjadi amanat di tangan mereka. Ibu juga harus mengingat bahwa TK yang baik adalah yang terletak di lokasi yang baik pula, ventilasinya bagus, dapat selalu dimasuki oleh cahaya matahari, memiliki tempat bermain yang luas dan terbuka, memiliki jumlah murid yang tidak terlalu banyak, mempunyai guru-guru pembimbing profesional dalam jumlah memadai, serta dilengkapi dengan perhatian yang baik terhadap sisi kesehatan.

Sedapat mungkin, ibu memasukkan anak ke sekolah TK yang memberikan peluang bermain lebih besar dengan berbagai jenis permainannya, agar pertumbuhan kejiwaan, mental, dan nalurinya menjadi baik. Ibu juga harus memilih TK yang tidak membebani anak dengan banyak PR dan hafalan, supaya anak dapat menikmati masa kanak-kanaknya. Ibu mesti memilih TK yang berusaha menghadapkan anak pada usianya ini kepada berbagai jenis rangsangan yang bermanfaat bagi indra dan emosinya, dengan tetap harus melakukan pengayaan lingkungan di dalam lingkungan sekolah, karena itu dapat membantu pertumbuhan mental anak. Selain itu, ibu juga jangan lupa memilih TK yang memberikan anak didiknya pengetahuan dasar tentang halal dan haram, guna menumbuhkan akhlak yang benar pada diri anak.

Dari sisi pembinaan, TK yang sukses harus dapat memuaskan keinginan, kecenderungan, dan kebutuhan anak. Selain juga memberikan kurikulum yang sesuai dengan daya serap anak, serta mampu menyempurnakan proses pendidikan sosial yang dilakukan oleh keluarga. Sehingga anak terbiasa dengan adab dan perilaku sosial yang baik, serta bergantung kepada dirinya sendiri dalam mengatur segala urusannya. Di samping itu, TK yang baik juga harus mengenalkan kepada anak tentang lingkungan alamnya, membantunya memahami lingkungan itu, serta menjauhkannya dari berbagai marabahaya yang ada di dalamnya dengan cara memperhatikan dan menyimak.

Fase-fase ini merupakan kesempatan paling baik untuk membiasakan anak dengan adab-adab islami. Oleh karena itu, dikatakan dalam sebuah ungkapan: "Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu." Anak terlahir dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan apa pun. Ia tidak mengetahui apa pun tentang kehidupan. Oleh karena itu, orang tua mengemban tanggung jawab yang sangat besar dalam fase usia ini. Ibu memiliki tanggung jawab paling berat dalam masalah pendidikan anak, karena ayah akan disibukkan oleh berbagai tugas dan pekerjaan. Jika ibu tidak melaksanakan tugas ini, anak pun akan hidup dalam keadaan yatim, kendati ayah dan ibunya masih hidup. Seorang penyair berkata:

"Bukanlah anak yatim itu yang ditinggal mati sendirian oleh ayah ibunya. Tapi anak yatim sejati itu adalah yang memiliki ibu yang melepaskan tanggung jawab, atau ayah yang selalu sibuk."

[Sumber: Ensiklopedi Keluarga Muslim]

www.islamweb.net