Khauf (Takut kepada Allah); Syiar Orang-orang Beriman

23/06/2024| IslamWeb

Di antara misi terbesar yang diemban oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah—`Azza wajalla—(yang artinya): "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." [QS. Al-Jumu`ah: 2]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga telah menjadikan penyucian jiwa sebagai syarat bagi seorang hamba untuk meraih keberuntungan, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah setelah rentetan sebelas kalimat sumpah (yang artinya): "Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." [QS. Asy-Syams: 9-10]

Tidak diragukan lagi, bahwa di antara sarana terpenting untuk menyucikan jiwa adalah dengan menempanya untuk senantiasa takut kepada Allah—`Azza wajalla. Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Di antara tingkatan 'Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan' adalah tingkatan khauf (rasa takut). Ini merupakan salah satu tingkatan tertinggi dalam meniti jalan kepada Allah, sekaligus paling bermanfaat bagi hati. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap orang."

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—juga pernah berkata, "Hati yang berjalan menuju Allah ibarat seekor burung; kecintaan sebagai kepalanya, khauf (rasa takut) dan rajâ' (pengharapan) sebagai kedua sayapnya. Jika kepala dan kedua sayapnya baik, burung itu akan terbang dengan baik. Namun jika kepalanya dipotong, ia akan mati. Dan jika kedua sayapnya hilang, ia akan rentan menjadi mangsa para pemburu dan pemangsa."

Jika rasa takut telah bersemayam di dalam hati, maka ia akan membakar tempat-tempat nafsu yang ada di dalamnya dan mengusir (kecintaan) dunia darinya. Karena rasa takut kepada Allah merupakan cambuk Allah untuk menggiring orang-orang yang tersesat dari pintu-Nya serta menghalangi mereka dari Neraka Jahîm dan azab yang pedih.

Al-Fudhail—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Barang siapa takut kepada Allah niscaya rasa takut itu akan menunjukkannya kepada semua kebaikan."

Dan ketahuilah, jika rasa takut ini hilang dari hati, hati akan rusak dan pemiliknya pun akan berani untuk melakukan berbagai maksiat.

Bagaimana seorang hamba ketika berada di dunia ini tidak merasa takut, sedangkan ia tahu bahwa ia sedang menuju ke arah berbagai kesulitan yang besar, dan ia tidak tahu bagaimana akhir hidupnya kelak? Sahl—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Rasa takut para shiddiqîn (orang-orang yang beriman tinggi) terhadap sû'ul khâtimah berlangsung di setiap detak hati dan di setiap gerakan mereka. Mereka itulah yang disebut oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam fiman-Nya (yang artinya): 'Dan hati mereka bergetar (takut).' [QS. Al-Mu'minûn: 60]."

Ketika sakaratul maut akan menjemputnya, Sufyân Ats-Tsauri—Semoga Allah merahmatinya—menangis sejadi-jadinya. Seseorang pun berkata kepadanya, "Hendaknya engkau membesarkan harapan, karena ampunan Allah lebih besar daripada dosa-dosamu." Sufyân pun menjawab, "Apakah engkau kira aku menangis karena dosa-dosaku? Seandainya aku tahu bahwa aku mati dalam tauhid, aku tidak peduli jika aku berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa sebesar gunung-gunung pun."

Bagaimana seorang hamba tidak merasa takut sedangkan ia sedang menuju ke alam kubur dan akan menghadapi pertanyaan kedua Malaikat di sana, sedangkan ia tidak tahu apakah ia akan dapat menjawab pertanyaan mereka dengan baik atau tidak? Pada suatu hari, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—duduk di sisi sebuah kuburan, lalu beliau menangis, kemudian bersabda, "Wahai saudara-saudaraku, hendaknya kalian mempersiapkan diri untuk kondisi ini."

Jika seorang hamba kemudian berpikir tentang dahsyatnya kondisi di padang Mahsyar, tentang timbangan amal, shirâth (titian di atas Neraka), dan digiringnya manusia ke Surga atau ke Neraka, tentu rasa takut akan menguasai dirinya. Semua itu tentu akan menghalanginya untuk melakukan banyak hal yang diharamkan Allah. Karena, setiap orang yang takut kepada sesuatu akan berusaha menjauhinya, namun sebaliknya, orang yang takut kepada Allah akan mendatanginya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka segeralah berlari menuju Allah. Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian." [QS. Adz-Dzâriyât: 50]

Tingkatan-tingkatan Khauf (Takut)

Di antara ulama ada yang menyebutkan bahwa takut mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:

1.    Takut dari hukuman (azab).

Ini merupakan rasa takut yang dengannya keimanan menjadi benar, dan ini merupakan rasa takut orang awam. Rasa takut ini muncul dari rasa percaya kepada ancaman Allah, ingat akan dosa-dosa yang pernah dilakukan, dan ingat akan akibat dari perbuatan itu. Hilangnya rasa takut ini dari hati merupakan tanda hilangnya iman dari dalamnya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tetapi takutlah kepadaku, jika kalian benar-benar orang yang beriman." [QS. Âli `Imrân: 175]

2.    Takut dari rencana Allah.

Tidak sedikit orang yang awalnya berada dalam kondisi yang baik kemudian berbalik seratus delapan puluh derajat. Ia berubah dari konsistensinya terhadap hal-hal yang baik menjadi pelaku dosa. Ia pun harus membolak-balikkan kedua tangannya, menepukkan tangan kanannya ke tangan kirinya (tanda kecewa). Ia yang semula berperangai baik tiba-tiba menjadi kasar, yang semula ingat menjadi alpa, yang semula antusias jadi berpaling, dan yang semula mendekat jadi menjauh.

3.    Derajat yang tertinggi adalah rasa takut akan terhijab dari Allah. Ini merupakan rasa takut para Al-`Arifîn (orang-orang yang benar-benar mengenal Allah).

Semakin dalam pengetahuan seorang hamba tentang Allah dan semakin ia mengetahui sifat-sifat-Nya, maka rasa takutnya kepada-Nya akan semakin besar. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama." [QS. Fâthir: 28]

Oleh karena itu, kita melihat betapa penghulu seluruh makhluk, Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah orang yang paling takut kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Suatu ketika, seseorang berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, engkau telah ditumbuhi uban." Beliau pun bersabda, "Surat Hud dan surat-surat yang sejenis dengannya telah membuatku beruban." Beliau juga bersabda tentang diri beliau sendiri, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takut kepada-Nya."

Sebagian ulama menyatakan bahwa khauf (rasa takut) ada yang kurang, ada yang berlebihan, dan ada yang pertengahan (seimbang). Dari ketiga macam ini, takut yang terpuji adalah yang pertengahan. Takut yang terpuji ini mendorong seseorang melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan. Jika takut itu bertambah, sehingga mendorongnya untuk lebih bersemangat melakukan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal kecil yang dimakruhkan, juga tidak berlebihan dalam hal-hal yang dibolehkan, maka ini lebih baik.

Adapun takut yang kurang (tidak maksimal), kondisinya seperti kelembutan hati seorang wanita. Takut seperti ini melintas di hati di saat terdapat sebab, seperti mendengar ayat, nasihat, atau hal-hal lainnya. Ketika itu, air matanya mengalir dan hatinya pun bergetar. Namun ketika sebab itu hilang, ia kembali kepada kelalaian seperti semula. Ini adalah takut yang kurang dan hanya sedikit memberi faedah.

Adapun takut berlebihan yang membuat seseorang putus asa, jatuh sakit, menanggung kegelisahan yang berat, atau membuatnya tidak melakukan berbagai amalan-amalan yang dicintai oleh Allah, maka ini adalah takut yang tercela.

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita rasa takut kepada-Nya, baik ketika sendiri maupun ketika bersama orang lain. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

www.islamweb.net